Rabu, 20 Juni 2012

Penjajahan Opini

Sebagai penjajah, Belanda sadar betul arti kekuatan media massa. Pada 1712,sebuah surat kabar direncanakan terbit di Hindia Belanda. Isinya hanya menyangkut kabar dalam negeri, berita kapal, dan semacamnya. Khawatir akan dampak koran bagi kelancaran bisnis VOC, maka pemerintah Belanda —yang ketika itu diwakili Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)— melarang rencana penerbitan koran tersebut.


Tahun 1744, mingguan Bataviase Nouvelles mendapat izin terbit dari pemerintahan "liberal" Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron von Imhoff.  Namun hanya berumur dua tahun. Para direktur VOC di Belanda memandang penerbitan mingguan itu berbahaya, dan segera meminta Gubernur Jenderal untuk menutupnya. VOC begitu sensitif akan bahaya pers bagi kekuasaannya.
Pers lebih dipandang sebagai ancaman terhadap kursi kekuasaan kaum penjajah.  Tak heran, jika pada 1671, Gubernur Virginia Sir William Berkeley menyatakan  berterimakasih kepada Tuhan, karena wilayah kekuasaannya terbebas dari
kegiatan cetak-mencetak. (Smith, 1986:1)

Pembungkaman pers juga menjadi salah satu faktor penting dalam pelestarian kekuasaan Orde Baru. Pers dikendalikan oleh pemerintah, sehingga tidak liar dan membahayakan kekuasaan pemerintah. Semua pihak sepakat, bahwa pers
adalah kekuatan (power) dahsyat yang sanggup menggoyang suatu rezim.

Theodore Herzl, tokoh Zionis politik, termasuk yang sangat memahami potensi pers untuk mendukung misi Zionis: mendirikan negara Yahudi di Palestina. Maklum, sebelum menjadi Zionis, Herzl adalah wartawan di Wina. Kisah sukses
Herzl dalam menformulasikan gerakan Zionisme, menurut Shlomo Avineri dalam bukunya The Making of Modern Zionism (1981), adalah kemampuannya menguasai senjata terpenting abad ke-20, yaitu media massa, lobi, dan public relation.

Kekuatan opini itu juga yang digunakan kaum Zionis untuk melestarikan  kekuasaannya di Palestina dan di AS, hingga kini. Sejumlah studi pada tahun  1992 menempatkan Israel sebagai salah satu dari 10 negara dengan jumlah awak
pers asing terbesar di dunia. Ada 270 organisasi pemberitaan yang memiliki perwakilan tetap di Israel.

Israel merupakan salah satu negara dengan angka pembaca koran dan buku tertinggi di dunia. Sebuah survei yang dilakukan tahun 1994, menunjukkan,  jumlah orang Israel yang membaca koran (harian) melampui angka 100 persen —sebab ada sejumlah warga Israel yang membaca lebih dari satu koran.  Harian terbesar di Yediot Aharonot, misalnya, setiap hari dibaca oleh 52,2
persen warga Israel. Harian terbesar kedua, Maariv, dibaca setiap hari oleh 21,1 persen penduduk Israel.

AS, sebagai negara superpower, juga sangat sadar arti kekuatan pers. Sebelum  menyerang  Afghanistan, 7 Oktober 2001, AS telah membentuk sebuah radio propaganda yang diberi nama Free Afghan. AS pun sempat kelimpungan menghadapi si kecil Al-Jazeera, saat berhadapan dengan Taliban. Padahal, AS mempunyai jaringan TV raksasa CNN, Fox, dan sebagainya.
Untuk membendung  pengaruh Al Jazeera, Bush menyetujui dikeluarkannya anggaran 500 juta USD
untuk membangun stasiun TV di Timur Tengah. Karena citra AS tetap buruk dimata sebagian besar penduduk Muslim, belakangan, Pentagon juga membentuk unit khusus propaganda, yang dikenal sebagai "OSI" (Office of Strategic Influence). Tugasnya, melakukan disinformasi.

Melalui kekuatan media massa — nasional maupun internasional — kaum penjajah Barat mempertahankan hegemoni kekuasaannya atas warga jajahan. Mereka tidak hanya menguasai teknologi dan jaringan informasi, tetapi juga menyiapkan
figur-figur yang mengisi media massa. Proses cuci otak dilakukan melalui berbagai bidang pendidikan, formal, atau informal. Kini, sulit dijumpai  universitas-universitas besar di Barat yang tidak memiliki Departemen of Islamic Studies. Para lulusan Islamic Studies di Barat inilah yang menjadi nara sumber bagi pemikiran keagamaan di "negeri-negeri jajahan".

Dampaknya sungguh luar biasa. Kini, tak mudah mencari pimpinan organisasi Islam yang tetap gigih mempertahankan pemikiran bahwa Islam adalah suatu sistem "religiopolitik organik", yang kaffah, yang memadukan antara aqidah
dan syariah. Reduksi ajaran Islam berlangsung dahsyat melalui terror  istilah-istilah "fundamentalis", "teroris", "radikal","militan", "gariskeras", dan sebagainya. Penjajahan fisik boleh saja berlalu. Tetapi, penjajahan informasi terus berlangsung. Detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam. Tahun demi tahun.

Jauh sebelum Alfin Toffler menyatakan bahwa "informasi" adalah "the highest quality of power", al-Qur'an (S. 49:6) sudah mengingatkan kaum Muslim agar jangan bermain-main dengan informasi. Hati-hati menerima informasi. Jangan
mudah percaya, jika yang membawa kabar adalah kaum fasik, yakni orang-orang yang sangat diragukan keabsahan beritanya.

Inilah perang! Perang informasi. Perang dalam arti sebenarnya. Perang ini berlangsung setiap saat. Sadarkah kita? Semoga! Melalui informasi yang kini mengalir deras ke sudut-sudut rumah kita itulah, kita sedang dijajah! Maka,tidak ada pilihan lain: lawan!•
Ditulis oleh : Adian Husaini,MA (Penulis Buku Penyesatan Opini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saat Prapti pergi

Suatu ketika, Galuh mengajak Prapti menemui Tejo di sebuah rumah makan, di sekitar tempat wisata alam. Mereka akhirnya memutuskan untuk m...