Pada
suatu pagi, datanglah seorang pemuda dari negeri seberang, namanya Umar, dia
berpikir alangkah indah negeri ini, dengan keindahan ciptaan Tuhan yang tak
ternilai harganya. Di lain pihak ada seorang lokal yang bekerja di sebuah perusahaan
swasta terkenal, namanya Arif.
Pada
pagi itu, kebetulan mereka bertemu di jalan. Mereka diam, karena merasa asing
satu sama lain. Lalu, selang beberapa saat, akhirnya mereka mencoba untuk
bercakap-cakap.
“Assalamu’alaikum...!”,
sapa Arif.
“Wa’alaikum
salam”, Umar menjawab dengan singkat, seolah-olah masih kikuk untuk berbincang
dengan orang yang baru saja dilihatnya.
“Boleh
kenal? Nama saya Arif, Anda siapa dan dariana? Karena kelihatannya anda tidak
mengenal daerah ini...”, lanjut Arif untuk membuka pertanyaan.
“Saya
dari Brunei, nama saya Umar, saya baru saja datang ke sini, indah nian negeri
anda, Arif...!”, Umar menjawab dengan sopan.
Tanpa
terasa mereka sudah menjadi akrab. Umar bertanya pada Arif sebelum kelokan ke
kantor Arif, “Apakah Anda senang dengan negeri Anda ini?”
“Tidak!”,
jawab Arif dengan singkat.
Umar
kaget dengan jawaban Arif, ada apa gerangan dengan negeri ini? Pertanyaan
tersebut berkutat di kepala Umar, yang memunculkan sebuah pertanyaan, “Kenapa
Anda tidak suka dengan negeri ini?, padahal semua sudah tersedia disini!”.
“Aku
tidak suka dengan negeri ini bukan karena aku tidak menyukainya, tetapi aku
tidak suka pada sistem yang ada, serta pemimpin yang selalu mencari keuntungan
pribadi semata, sehingga diriku ini bagai kembara di rumah sendiri, apakah itu
menyenangkan saudaraku?”, jawab Arif.
“Ini
semua adalah sebuah kesalahan yang dilakukan secara berkelompok, dimana ada
mafia yang saling melindungi kesalahan mereka, keadilan sudah tidak ada,
keuangan yang maha kuasa dan semua itu sangat membingungkan hidupku, mungkin
inilah yang membuat diriku menjadi asing di dalamnya!”, lanjut Arif menambahi.
Setiba dikelokan, Arifpun berpamitan untuk segera masuk ke kantornya.
Sepeninggal
Arif, Umar berpikir keras atas penjelasan Arif tadi, dia lalu mencoba mengambil
kesimpulan dari percakapannya dengan Arif, bahwa dinegeri ini masih banyak
orang yang tidak mengenal negerinya sendiri, merasa terasing di kerumunan dan
merasa berada dikerumunan orang-orang terasing.
“Sungguh
aneh, mengapa bisa demikian ya?”, tanya Umar dalam hati. Lalu dia dengar suara
Adzan Magrib, iapun pergi ke masjid, setelah selesai shalat magrib ternyata ada
pengajian kultum, yang menerangkan salah satu hadits ‘Arbain, hadits terakhir.
Ustad yang memberikan pengajian itu berkata, “Saudaraku seiman, dalam hadits
‘Arbain, jadilah kamu sekalian seorang pengembara didunia, saya akan membacakan
hadits ke empatpuluh yang artinya Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma berkata :
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memegang pundak kedua pundak saya seraya
bersabda : Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau pengembara “,
Ibnu Umar berkata : Jika kamu berada di sore hari jangan tunggu pagi hari, dan
jika kamu berada di pagi hari jangan tunggu sore hari, gunakanlah kesehatanmu
untuk (persiapan saat) sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu “ (Riwayat
Bukhori)”.
Setelah
kultum selesai, Umar berpikir apakah Arif masuk kedalam pengembara di dunia
seperti yang diterangkan Ustad?, ataukah Arif hanya merasa tidak puas akan kejadian
dinegeri ini, ataukah..................
Karena
capek, setelah shalat Isya, Umarpun akhirnya tertidur pulas dengan menyimpan
sejuta pertanyaan, yang mungkin dapat pembaca jawab sendiri apa yang terjadi
pada Arif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar