Kamis, 08 Maret 2012

Rusaknya otak dan hati

Perilaku manusia sehat dikendalikan otak bagian depan yang disebut korteks prefrontalis. Bagian ini mengontrol pikiran manusia. Namun, mereka yang cenderung melakukan kekerasan, perilakunya diatur oleh amigdala yang mengon- trol emosi dan mental.

Sekretaris Jenderal Indonesia Neuroscience Society, yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Taufiq Pasiakm, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (5/3), mengatakan, otak manusia yang cenderung melakukan kekerasan dan para pelaku kejahatan umumnya mengalami kerusakan pada bagian korteks prefrontalis. Bagian ini berurusan dengan rasa malu, empati sosial, dan pengaturan norma-nilai dalam kehidupan.

Kerusakan korteks prefrontalis membuat manusia kehilangan tata krama sosial, menjadi antisosial, kehilangan rasa bersalah, dan kematangan emosinya terganggu. ”Perilaku orang sehat dikendalikan oleh pikiran, bukan emosi,” katanya.

Mereka yang mengalami kerusakan korteks prefrontalis menjadi tidak santun, kasar, mudah marah, agresif, dan emosional. Dalam kondisi ini, peranan amigdala lebih dominan dibandingkan korteks prefrontalis. Artinya, emosi lebih menguasai dibandingkan pikiran.

Banyak hal yang menjadi penyebab kerusakan korteks prefrontalis. Hal itu antara lain adanya tumor, efek samping pembedahan, dan cedera.

Pelaku kekerasan dan kejahatan, termasuk koruptor, tahu tindakan mereka buruk dan salah. Namun, pemahaman itu tidak dapat ditransformasikan dalam perilaku akibat bagian otak yang menerjemahkan pengetahuan ke dalam perilaku rusak.

”Pelaku kejahatan, baik sebagai profesi, hobi, atau karena situasi, semuanya menderita gangguan otak. Bisa jadi otaknya normal, tetapi tak sehat,” katanya.

Selain itu, otak juga memiliki sifat neuroplastisitas (berubah secara alami). Perubahan ini akibat stimulus, baik fisik melalui olahraga maupun nonfisik melalui pelatihan mental.

Melatih mental melalui meditasi, zikir, tafakur (perenungan), ataupun pengharapan (optimisme) bisa mengolah mental menjadi positif. Ini akan berdampak pada positifnya emosi dan selanjutnya memengaruhi otak.

Meski demikian, banyak orang tak telaten mengolah mental. Pada saat bersamaan, pengaruh negatif bagi mental datang bertubi-tubi setiap hari. Kondisi dan informasi yang pesimistis, maraknya tayangan kekerasan dan seks bebas, serta hilangnya kehangatan di rumah membuat otak mempersepsikan berbagai hal negatif itu sebagai tindakan wajar.

”Sesuatu yang terpatri di otak sulit untuk dilupakan,” katanya.

Secara teoritis, kata Taufiq, kerusakan korteks prefrontalis bisa diperbaiki. Namun, manfaatnya perlu dipertimbangkan karena penyembuhan tanpa diikuti intervensi mental akan percuma akibat sifat neuroplastisitas otak.

Ahli psikologi motivasi Universitas Gadjah Mada, yang juga Wakil Ketua Asosiasi Psikologi Islami, Bagus Riyono, mengungkapkan perspektif berbeda. Dalam pengetahuan Barat, otak memang menjadi pengendali atas segala perilaku manusia. Namun, dalam perspektif Timur, yaitu Jepang, China, Indonesia, serta agama Islam, perilaku ataupun otak manusia dikendalikan hati nurani.

Tindak kekerasan memang bersumber dari amigdala. Namun, jika hati kuat, orang bersangkutan mampu mengendalikan perilakunya. ”Otak hanya eksekutor, pengambil keputusan di hati,” ujarnya.

Bagus mengakui, studi neurosains Barat tentang hati belum banyak karena mereka kurang memercayai spiritualitas. Meski demikian, belum ada penjelasan tentang siapa yang mengendalikan otak.

”Hati nurani memang sesuatu yang abstrak, posisinya tidak jelas di bagian mana dalam tubuh. Tetapi, dampaknya bisa dirasakan seluruh tubuh,” ujarnya.

Contoh sederhana adalah perasaan cinta. Ekspresi cinta sering kali tak rasional, tetapi hati justru bisa menerimanya.

Pendidikan spiritual

Taufiq dan Bagus sama-sama menekankan pentingnya pendidikan spiritual, baik bagi otak maupun hati nurani.

Menurut Taufiq, teknologi paling canggih untuk memengaruhi otak adalah pendidikan spiritual, mulai dari pendidikan keluarga, sekolah, hingga lingkungan sekitar. Namun, sistem pendidikan Indonesia justru lebih mengedepankan aspek kognitif.

Pendidikan juga lebih banyak mengembangkan hal-hal yang bersifat ritual dan simbolik, bukan substansial. Akibatnya, pewarisan nilai-nilai luhur bangsa tidak berlangsung optimal.

Kondisi itu diperparah dengan hilangnya keteladanan orang yang lebih tua sebagai panutan. Komunitas pendorong kebaikan yang ada di masyarakat, seperti kelompok keagamaan, justru berubah menjadi komunitas yang eksklusif.

”Pengalaman bangsa-bangsa maju menunjukkan, pengembangan otak harus dilakukan secara serius, tidak bisa otak dibiarkan tumbuh alamiah,” kata Taufiq.

Bagus menambahkan, sejumlah sekolah memang mencoba mengembangkan pendidikan karakter. Namun, pola pendidikan yang dikembangkan masih menekankan aspek kognitif. Akibatnya, kejujuran, kesetiakawanan, empati, dan toleransi hanya menjadi uraian kata-kata teoritis tanpa ada contoh langsung bagaimana melakukan hal- hal itu disampaikan dengan penuh ketulusan.

Kompleksnya persoalan sosial politik kemasyarakatan membuat pendidikan dalam keluarga menjadi sangat penting. Sayangnya, akibat kesibukan orangtua, pendidikan spiritual dalam rumah justru dinomorduakan.

Oleh: M Zaid Wahyudi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saat Prapti pergi

Suatu ketika, Galuh mengajak Prapti menemui Tejo di sebuah rumah makan, di sekitar tempat wisata alam. Mereka akhirnya memutuskan untuk m...