Kamis, 03 November 2011

Emosi atau Aktualisasi Diri?


Anda, saya, ataupun siapa saja tentu pernah  mengalaminya. Dalam merespon sebuah diskusi, terkadang kita langsung bersikap reaksioner. Tersinggung, mudah  marah atau bahkan mengancam. Mengedepankan emosi daripada meresapi.
Mengedepankan naluri daripada empati. Padahal, andaikata semua orang bisa memahami satu sama lain. Saling berempati satu sama lain, niscaya (konflik) itu tidak akan pernah terjadi.
Emosi adalah bagian dari sebuah ekspresi. Emosi juga bisa saya maknai sebagai wujud dari aktualisasi diri yang "tidak tuntas" --lebih bersifat negatif. Sama-sama bentuk dari aktualisasi diri, mungkin hanya berbeda pada tataran proses, dengan orang yang bisa berekspresi menggunakan opini (wacana). Jadi, ketika seseorang itu emosi dalam berdiskusi, sebenarnya itu menunjukkan bahwa ada "problem" dengan orang tersebut, yang berkenaan dalam proses mengartikulasikan dirinya untuk membangun sebuah opini.
Dengan memahami demikian, bagi yang sudah bisa berdiskusi, beropini, maka seyogyanya dengan sabar bisa memahami orang-orang yang masih berada dalam tahap  (tataran) emosi.
Dalam konteks pemahaman seperti itulah, yang kemudian saya jadikan pijakan untuk mengkritik --sekaligus memberikan saran-- terhadap gerakan massa grass-root NU yang cenderung "radikal".
Misalnya: munculnya fenomena Pasukan Berani Mati (PBM) ketika Gus Dur akan dijatuhkan. Juga aksi-aksi massa Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Jihad yang cenderung merusak, dan aksi-aksi membakar buku-buku --yang dianggap "kiri", yang dilakukan oleh Eurico Guetteres dkk tempo hari.
Munculnya fenomena seperti itu, harusnya bisa dipahami sebagai: pertama, pembodohan elite pada umat. Terjadi disinformasi dari kalangan pemimpin kepada umatnya. Wawasan dan pengetahuan umat yang terbatas -kalau tidak boleh dikatakan terbelakang, dimanfaatkan untuk kepentingan elite. Itu juga menunjukkan, ada problem artikulasi diri pada mereka, sehingga bisa dimanfaatkan oleh kalangan elite politik, hingga kemudian muncullah vonis "komunis", "anarkhis" dll terhadap kelompok yang mereka anggap lawan.
Kedua, bagi yang sudah pandai beropini (media massa, elite lawan politik, provokator dll), tidaklah perlu memojokkan mereka yang masih menggunakan cara-cara emosi untuk menyelesaikan masalah. Sesungguhnya, emosi yang mereka lakukan itu, menunjukkan ketidakmampuan untuk menuntaskan masalah melalui mekanisme intelektual  (diskusi, berdebat, berbeda pendapat dll) dan cara-cara yang beradab (via wakil rakyat, aparat penegak hukum, forum diskusi dll).
Padahal, seharusnya masalah yang "tidak tuntas" itu menjadi kewajiban bersama; baik oleh yang sudah mengerti, ataupun bagi yang masih suka menggunakan instrumen emosi. Karena dengan begitu, beda pendapat di negeri ini akan berlangsung dengan sangat demokratis dan santun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saat Prapti pergi

Suatu ketika, Galuh mengajak Prapti menemui Tejo di sebuah rumah makan, di sekitar tempat wisata alam. Mereka akhirnya memutuskan untuk m...