dakwatuna.com - “Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan…” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Alasan
mengapa banyak ulama yang mengawali berbagai buku dan karangannya
dengan hadits ini – di antaranya Imam Bukhari dalam kitab shahihnya dan
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin, Al-Adzkar, dan Al-Arba’in An-Nawawiyah -
adalah agar para pembaca menyadari betapa pentingnya niat, sehingga ia
akan meluruskan niatnya hanya karena Allah, baik ketika menuntut ilmu
atau melakukan perbuatan baik lainnya.
Agama bertumpu pada dua
hal: sisi lahiriyah (perbuatan) dan sisi batiniyah (niat). Dalam ibadah
inti, seperti Shalat, Haji, dan Puasa, keberadaan niat merupakan rukun.
Sehingga amalan tersebut tidak akan bernilai ibadah jika tidak diiringi
dengan niat. Namun kenyataannya niat saja tidak cukup. Semua perbuatan
baik dan bermanfaat, jika diiringi niat yang ikhlas dan hanya mencari
keridhaan Allah. Jika sudah demikian barulah perbuatan tersebut bernilai
ibadah.
Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal mengikuti
niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar, dan amal menjadi rusak
karena niat yang rusak. Nabi SAW telah menyampaikan dua kalimat yang
mendalam yang mengandung ilmu, yaitu,
“Sesungguhnya amal-amal itu hanya bergantung pada niat-niat, dan seseorang hanya memperoleh menurut apa yang diniatkan.”
Dalam kalimat pertama beliau SAW menjelaskan bahwa amal tidak ada
artinya tanpa niat. Maka dari itu tidak disebut amal jika tanpa niat.
Dalam kalimat kedua beliau menjelaskan, bahwa orang yang melakukan suatu
amal tidak memperoleh apa-apa kecuali menurut niatnya. Hal ini mencakup
berbagai ibadah, muamalah, iman, nadzar, perjanjian, dan tindakan apa
pun.
Keberadaan niat harus disertai pembebasan dari segala
keburukan, nafsu dan keduniaan, harus ikhlas karena Allah, dalam setiap
amal-amal akhirat, agar amal itu diterima di sisi Allah. Namun
mewujudkan ikhlas bukanlah perkara yang mudah. Jangan mengira bahwa
ikhlas itu bisa diperoleh setiap tangan yang menghendakinya, dan bahwa
ikhlas itu bisa diperoleh dengan usaha yang sederhana tanpa harus
bersusah payah. Ini jauh sama sekali dari hakikat. Yang pasti,
mewujudkan ikhlas itu bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan
orang-orang yang biasa bertindak hanya berdasarkan kepada permukaan yang
tampak, tidak dengan kandungan, atau bertindak dengan bungkus dan bukan
dengan arti.
Orang-orang arif yang meniti jalan kepada Allah
telah menegaskan sulitnya ikhlas dan beratnya mewujudkan ikhlas itu di
dalam jiwa, kecuali orang yang memang dimudahkan Allah. Membersihkan
jiwa dari hawa nafsu yang tampak maupun tersembunyi, membersihkan niat
dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga tidak mudah. Meredam
egoisme, kecintaan kepada diri sendiri, cinta dunia dan keinginan untuk
mendapatkan tujuan secara langsung, adalah pekerjaan yang amat besar.
Oleh
karena itu perlu usaha maksimal, selalu memperhatikan pintu-pintu masuk
bagi syetan ke dalam jiwa, membersihkan jiwa dari unsur-unsur riya’,
kesombongan, gila kedudukan, suka berpenampilan dan pamer. Sebab
unsur-unsur seperti ini lebih banyak menguasai jiwa manusia. Maka dari
itu seorang Rabbani pernah ditanya, dia adalah Sahl bin Abdullah
At-Tustary, “Apakah sesuatu yang paling berat bagi jiwa?” Maka dia menjawab, “Ikhlas. Sebab ia tidak mendapatkan bagian apa-apa.”
Yang lain juga berkata, “Memurnikan niat jauh lebih sulit bagi para ahli ibadah daripada segala amal.”
Yusuf bin Al-Husain Ar-Razy berkata, “Sesuatu
yang paling mulia di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak ikhlas
menggugurkan riya’ dari hati. Seakan-akan ia menumbuhkan warna lain di
dalamnya.”
Yahya bin Abu Katsir berkata, “Belajarlah niat, karena niat itu lebih penting daripada amal.”
Sufyan Ats-Tsaury berkata, “Tidak ada yang lebih sulit kutuntaskan pada diriku selain niat. Sebab niat itu bisa berubah menjadi dosa atas diriku.
Daud Ath-Tha’y berkata, “Saya melihat semua kebaikan bertumpu pada niat yang baik.”
Yusuf bin Asbath berkata, “Membebaskan niat dari kerusakannya lebih sulit bagi orang-orang yang beribadah daripada berjihad dalam jangka waktu yang lama.”
Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Berapa banyak amal yang remeh menjadi besar gara-gara niat, dan berapa banyak amal yang besar menjadi remeh gara-gara niat.”
Ada pula yang berkata, “Ikhlas satu saat merupakan keselamatan sepanjang masa, karena ikhlas adalah sesuatu yang sangat mulia.”
Mereka
berkata seperti itu, karena sulitnya membebaskan diri dari nafsu.
Karena mereka sangat menyadari bahwa Allah tidak akan menerima hati yang
dirasuki tujuan lain, tidak menerima amal yang dirasuki tujuan lain,
Dia hanya menerima amal yang murni karena mengharap keridhaan-Nya
semata.
Buku ini mengupas satu cabang fundamental dari berbagai
cabang iman yang paling tinggi, tentang salah satu dari berbagai
kedudukan agama dan tentang salah satu dari berbagai akhlak para
Rabbani, yaitu niat dan keikhlasan. Sekali lagi niat bukanlah perkara
sepele dan mewujudkan keikhlasan bukanlah hal yang mudah. Oleh karena
itu melalui buku ini penulis (Dr. Yusuf Al-Qaradhawi) mengajak pembaca
agar kembali memperhatikan niatnya, karena niat adalah dasar amal dan
kebaikan. (ZR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar