Di
pantai Marina, angin berhembus dengan sangat sejuk dan bersahabat. Saat itu
mendung juga sedang menggelayuti langit yang biru. Disana Tejo sedang menghabiskan
masa liburannya dengan mendirikan kemah, sangat kurang nyaman tetapi sungguh
pengalaman yang tidak akan terlupakan. Tejo berkemah di dekat pantai Marina
selama 3 hari.
Suatu
hari, Tejo bergumam pada dirinya, apa sih maksud dari semua ini?
“Jo...
“, ada suara memanggil Tejo dengan lembut. Tejo menoleh ke arah suara itu. Tejo
kaget bukan kepalang, karena sudah lama Tejo tidak bertemu dengan temannya itu,
seorang wanita cantik yang sangat menawan. Sebut saja namanya Dini.
Ternyata,
Dini sedari tadi memperhatikan Tejo yang sedang bermain istana pasir di pantai
itu. Dini sebenarnya masih ragu, benarkah itu Tejo yang dulu ia kenal?
“Dini....”,
sentak Tejo meyakinkan bahwa yang dilihatnya adalah Dini. “Benarkah kamu Dini?”,
tanya Tejo.
“Ini
benar Tejo kan?, teman satu angkatan dulu waktu kuliah di Amsterdam?”, tanya Dini
juga untuk meyakinkan bahwa yang ditemuinya benar adalah Badrun Tejo Suprapto.
“Iya,
jadi ini benar Dini Larasati kan?”, tanya Tejo yang sekaligus membenarkan
bahwa dirinya adalah Tejo.
“Lagi
ngapain Jo?, kamu kan di Kediri, kok sampai sini?” tanya Dini lagi.
“
Gini Din, aku kan lagi pengen merasakan dunia tanpa hiruk pikuk pekerjaan,
dengan caraku sendiri, Camping, tuh tendanya!”, Jawab Tejo. “Kamu sendiri?”,
lanjut Tejo.
“Ini,
lagi pengen hiburan aja, kan aku deket dari sini.”, jawab Dini. “Kamu sama
siapa Jo?, istri ya?”, tanya Dini untuk membuat suasana lebih tambah akrab.
“Ha
ha ha, aku sendirian aja kok, 3 hari lalu aku kan baru meeting di hotel sebelah
itu, lalu aku lanjut aja ke sini, untuk merasakan perbedaan yang akan
menjadikan kita lebih bijak”, tukas Tejo. “Emang kamu tinggal dimana, suamimu
dan anak-anakmu?”, Seloroh Tejo.
“Aku
di Bogor, aku cuma sendirian kok kesininya, emang kenapa, gak boleh ya walk
alone ginian?”, tanya Dini.
“Boleh
sih, tapi kan aneh, masak cari hiburan kok sendirian....!”, tukas Tejo, “Emang
di rumah gak terhibur apa?”.
Akhirnya
mereka bercerita tentang dirinya maing-masing dengan canda tawa yang
sangat hidup, seolah mereka dahulunya berpacaran, padahal tidak. Sampai suatu
saat tatapan mereka bertemu, lalu entah kenapa, tangan mereka saling
menggenggam jemari, dengan sangat spontan mereka akhirnya bergandengan tangan.
“Ehm”,
Tejo mencoba mencairkan suasana yang membawa mereka jauh melampaui masa lalu. “Din...
boleh tidak aku bertanya sesuatu yang sangat pribadi kepadamu?”, tanya Tejo.
“Apa
Jo?”, tukas Dini dengan sangat cepat.
“Tidak
marah kan kalau aku tanya ini padamu?”, Tejo melanjutkan lagi, “Kenapa aku
lihat dari sorot matamu, kamu sepertinya kurang bahagia dengan suamimu,
benarkah itu?”
“Memang
kenapa kalau aku kurang bahagia?”, tanya Dini.
“Coba
cerita saja kepadaku, siapa tahu aku bisa membantu memecahkan masalahmu”, kata
Tejo dengan tetap memperhatikan wajah Dini yang mulai berkaca-kaca seolah dia
ingin mengungkapkan semua masalahnya. Secara panjang lebar akhirnya Dini
menceritakan masalahnya. Tidak terasa cerita Dini sudah selama 2 jam, yang
intinya Dini sering berbenturan prinsip dengan suaminya, yang membuat Dini
sedikit merasa kecewa dengan suaminya.
“Seandainya
saja waktu bisa kuputar lagi Jo, mungkin aku tidak akan seperti ini”, lanjut Dini.
“Memang
kamu punya mesin waktu apa?”, canda Tejo untuk menghibur Dini yang sedang
gundah itu.
“Jangan
bercanda dong.... serius ini”, gerutu Dini.
“Oke..oke..
serius... emang apa yang kamu inginkan Din kalau waktu bisa diputar mundur?”,
tanya Tejo lagi.
“Aku
ingin membenarkan pilihanku yang salah, karena ternyata aku pernah mendapatkan
kenyamanan dari seorang cowok yang sangat aku inginkan, meski aku saat itu
tidak pernah bersamanya, tidak pernah mengenal dirinya lebih dekat lagi, karena
dia sudah berpacaran kala itu”. Jawab Dini polos. “Dia orang yang menurutku
sangat menghibur dan smart, bagiku dia orang yang asik, apa adanya. Tetapi,
sekarang pasti tidak akan terjadi, karena kami masing-masing sudah terikat
teken kontrak dengan pasangan masing-masing”. Lanjut Dini. Kemudian dia
menambahkan lagi, “Tetapi aku merasa bahwa dia sebenarnya juga suka kepadaku,
meski kami tidak pernah bersatu, dan mungkin tidak akan pernah bersatu”.
“Kalau
boleh aku tahu, dan ini kalau boleh... apakah aku mengenalinya?”, tanya Tejo.
“Rahasia
dong....!”, jawab Dini dengan sedikit senyum bahagia di bibirnya, yang
menandakan dirinya sedang bahagia saat itu, sinar matanya mengisyaratkan
jawaban kepada Tejo, bahwa Tejolah orang yang dimaksud Dini itu. “Kamu sangat
mengenalinya Jo, sangat kenal....”, lanjut Dini.
“Ya...
Aku sudah tahu Din... “, tukas Tejo.
“Emang
siapa Jo?.... jangan-jangan kamu slah lagi...?”, seloroh Dini sambil mencubit
Tejo.
“Siapa
lagi orang yang sangat ku kenal selain diriku sendiri...., jadi aku yakin bahwa
orang yang kamu maksud adalah Aku..”, jawab Tejo sekenanya.
“Kenapa
kamu menganalisa seperti itu Jo...?, itu sudah keputusan bulat?”, tukas Dini
dengan mata menggoda, yang merupakan salah satu daya tarik dari Dini sejak
dulu.
“Pasti...,
ha ha ha....”, jawab Tejo dengan tertawa lepas, seolah-olah pembenaran
jawabannya tidak dibutuhkan lagi olehnya.
“Dari
dulu kamu memang jenius ya Jo...., tapi sayang, aku sekarang sudah tidak
seperti dulu lagi, aku sudah luntur, sudah layu terkena panas matahari yang menyengatku...”,
jawab Dini.
“Siapa
bilang kamu sudah luntur atau layu?, kamu tetap cantik kok bagiku, secantik Dini
Larasati yang dulu aku tahu”, ucap Tejo. “Memang, kadang kita berharap, tetapi
waktu sudah tidak mengijinkan kita”.
“Jadi...?”,
goda Dini, “Kamu juga Jo..?”.
“Ya...
gimana ya, maybe yes maybe no...., but I'm not sure...!”, jawab Tejo, yang
menandai akhir perjumpaan mereka di Marina, karena Dini harus segera pulang
untuk mengurus kedua buah hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar