Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8 golongan yang
telah ditegaskan dalam Al Qur’an Al Karim pada ayat berikut,
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ
وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَابْنِ السَّبِيلِ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1]
orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang
terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan.” (Qs. At Taubah: 60) Ayat ini dengan jelas menggunakan kata
“innama”, ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan
tersebut, tidak untuk yang lainnya.
Fakir dan miskin adalah golongan yang tidak mendapati
sesuatu yang mencukupi kebutuhan mereka.
Para ulama berselisih pendapat manakah yang kondisinya lebih
susah antara fakir dan miskin. Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa
fakir itu lebih susah dari miskin. Alasan mereka karena dalam ayat ini, Allah
menyebut fakir lebih dulu baru miskin. Ulama lainnya berpendapat miskin lebih
parah dari fakir.
Adapun batasan dikatakan
fakir menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah adalah orang yang tidak punya
harta dan usaha yang dapat memenuhi kebutuhannya. Seperti kebutuhannya, misal
sepuluh ribu rupiah tiap harinya, namun ia sama sekali tidak bisa memenuhi
kebutuhan tersebut atau ia hanya dapat memenuhi kebutuhannya kurang dari
separuh. Sedangkan miskin adalah orang yang hanya dapat mencukupi separuh atau
lebih dari separuh kebutuhannya, namun tidak bisa memenuhi seluruhnya.
Orang yang berkecukupan tidak
boleh diberi zakat
Orang yang berkecukupan sama sekali tidak boleh diberi
zakat, inilah yang disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
لاَ
حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ
“Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang
berkecukupan.”
Apa standarnya orang kaya yang tidak boleh mengambil zakat?
Standarnya, ia memiliki kecukupan ataukah tidak. Jika ia memiliki
harta yang mencukupi diri dan orang-orang yang ia tanggung, maka tidak halal
zakat untuk dirinya. Namun jika tidak memiliki kecukupan walaupun hartanya
mencapai nishob, maka ia halal untuk mendapati zakat. Oleh karena itu,
boleh jadi orang yang wajib zakat karena hartanya telah mencapai nishob, ia
sekaligus berhak menerima zakat. Demikian pendapat mayoritas ulama yaitu ulama
Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Apa standar kecukupan?
Kecukupan yang dimaksud adalah kecukupan pada makan, minum,
tempat tinggal, juga segala yang mesti ia penuhi tanpa bersifat boros atau
tanpa keterbatasan. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah baik kebutuhan
dirinya sendiri atau orang-orang yang ia tanggung nafkahnya. Inilah pendapat
mayoritas ulama.
Bolehkah memberi zakat kepada fakir miskin yang mampu
mencari nafkah?
Jika fakir dan miskin mampu bekerja dan mampu memenuhi
kebutuhannya serta orang-orang yang ia tanggung atau memenuhi kebutuhannya
secara sempurna, maka ia sama sekali tidak boleh mengambil zakat. Alasannya
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ
وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ
مُكْتَسِبٍ
““Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang
berkecukupan dan tidak pula bagi orang yang kuat untuk bekerja.
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ
تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ
وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ
سَوِىٍّ
“Tidak halal zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak
pula bagi orang yang kuat lagi fisiknya sempurna (artinya: mampu untuk bekerja,
pen)”
Berapa kadar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin?
Besar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin adalah
sebesar kebutuhan yang mencukupi kebutuhan mereka dan orang yang mereka
tanggung dalam setahun dan tidak boleh ditambah lebih daripada itu. Yang
jadi patokan di sini adalah satu tahun karena umumnya zakat dikeluarkan setiap
tahun. Alasan lainnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
menyimpan kebutuhan makanan keluarga beliau untuk setahun. Barangkali pula
jumlah yang diberikan bisa mencapai ukuran nishob zakat.
Jika fakir dan miskin memiliki harta yang mencukupi sebagian
kebutuhannya namun belum seluruhnya terpenuhi, maka ia bisa mendapat jatah
zakat untuk memenuhi kebutuhannya yang kurang dalam setahun.
Golongan kedua: amil zakat.
Untuk amil zakat, tidak disyaratkan termasuk miskin. Karena
amil zakat mendapat bagian zakat disebabkan pekerjaannya. Dalam sebuah hadits
disebutkan,
لاَ
تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ
إِلاَّ لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ
فِى سَبِيلِ اللَّهِ
أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا
أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ
لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ
أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ
لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ
فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ
فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِىِّ
“Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang,
yaitu orang yang berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau orang yang
terlilit hutang, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau orang
yang memiliki tetangga miskin kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu
ia memberikannya kepada orang yang kaya.”
Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa imam
(penguasa) akan memberikan pada amil zakat upah yang jelas, boleh jadi
dilihat dari lamanya ia bekerja atau dilihat dari pekerjaan yang ia lakukan.
Siapakah Amil Zakat?
Sayid Sabiq mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang
diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat
dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah orang yang bertugas menjaga
harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di
kantor amil zakat.”
‘Adil bin Yusuf al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan
amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengunpulkan
zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk
amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi
dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka
itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang
kaya.”
Syeikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan,
“Golongan ketiga yang berhak mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat
adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari
orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya.
Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya
adalah orang-orang yang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang
yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat.
Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan
status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati
mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh
amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika mereka
meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat
berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat.”
Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa
disebut sebagai amil zakat adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa
muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya sehingga panitia-panitia
zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya
sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah
amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak
tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat
adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk
mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar
zakat.
Golongan ketiga: orang yang ingin dilembutkan hatinya.
Orang yang ingin dilembutkan hatinya. Bisa jadi golongan ini
adalah muslim dan kafir.
Contoh dari kalangan muslim:
Orang
yang lemah imannya namun ditaati kaumnya. Ia diberi zakat untuk menguatkan
imannya.
Pemimpin
di kaumnya, lantas masuk Islam. Ia diberi zakat untuk mendorong orang
kafir semisalnya agar tertarik pula untuk masuk Islam.
Contoh dari kalangan kafir:
Orang
kafir yang sedang tertarik pada Islam. Ia diberi zakat supaya condong
untuk masuk Islam.
Orang
kafir yang ditakutkan akan bahayanya. Ia diberikan zakat agar menahan diri
dari mengganggu kaum muslimin.
Golongan kelima: pembebasan budak.
Pembebasan budak yang termasuk di sini adalah: (1)
pembebasan budak mukatab, yaitu yang berjanji pada tuannya ingin merdeka dengan
melunasi pembayaran tertentu, (2) pembebasan budak muslim, (3) pembebasan
tawanan muslim yang ada di tangan orang kafir.
Golongan keenam: orang yang terlilit utang.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah:
Pertama:
Orang yang terlilit utang demi kemaslahatan dirinya.
Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
Yang
berutang adalah seorang muslim.
Bukan
termasuk ahlu bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Bukan
orang yang bersengaja berutang untuk mendapatkan zakat.
Utang
tersebut membuat ia dipenjara.
Utang
tersebut mesti dilunasi saat itu juga, bukan utang yang masih tertunda
untuk dilunasi beberapa tahun lagi kecuali jika utang tersebut mesti
dilunasi di tahun itu, maka ia diberikan zakat.
Bukan
orang yang masih memiliki harta simpanan (seperti rumah) untuk melunasi
utangnya.
Kedua:
Orang yang terlilit utang karena untuk memperbaiki hubungan orang lain.
Artinya, ia berutang bukan untuk kepentingan dirinya, namun untuk kepentingan
orang lain. Dalil dari hal ini sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ
الْمَسْأَلَةَ لَا
تَحِلُّ إِلَّا لِثَلَاثَةٍ
رَجُلٍ تَحَمَّلَ بِحَمَالَةٍ
بَيْنَ قَوْمٍ فَسَأَلَ
فِيهَا حَتَّى يُؤَدِّيَهَا
ثُمَّ يُمْسِكَ
“Sesungguhnya permintaan itu tidak halal kecuali bagi
tiga orang; yaitu orang laki-laki yang mempunyai tanggungan bagi kaumnya, lalu
ia meminta-minta hingga ia dapat menyelesaikan tanggungannya, setelah itu ia
berhenti (untuk meminta-minta).”
Ketiga:
Orang yang berutang karena sebab dhoman (menanggung sebagai jaminan utang orang
lain). Namun di sini disyaratkan orang yang menjamin utang dan yang dijamin
utang sama-sama orang yang sulit dalam melunasi utang.
Golongan ketujuh: di jalan Allah.
Yang termasuk di sini adalah:
Pertama:
Berperang di jalan Allah.
Menurut mayoritas ulama, tidak disyaratkan miskin. Orang
kaya pun bisa diberi zakat dalam hal ini. Karena orang yang berperang di jalan
Allah tidak berjuang untuk kemaslahatan dirinya saja, namun juga untuk
kemaslahatan seluruh kaum muslimin. Sehingga tidak perlu disyaratkan fakir atau
miskin.
Kedua:
Untuk kemaslahatan perang.
Seperti untuk pembangunan benteng pertahanan, penyediaan kendaraan
perang, penyediaan persenjataan, pemberian upah pada mata-mata baik muslim atau
kafir yang bertugas untuk memata-matai musuh.
Golongan kedelapan: ibnu sabil, yaitu orang yang kehabisan
bekal di perjalanan.
Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang tidak dapat
kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar ia dapat melanjutkan perjalanan ke
negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi zakat kecuali bila memenuhi syarat:
(1) muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam), (2) tidak memiliki harta pada saat itu sebagai biaya untuk
kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia adalah orang yang berkecukupan,
(3) safar yang dilakukan bukanlah safar maksiat.[20]
Memberi Zakat untuk Kepentingan Sosial dan kepada Pak Kyai
atau Guru Ngaji
Para fuqoha berpendapat tidak bolehnya menyerahkan zakat
untuk kepentingan sosial seperti pembangunan jalan, masjid dan jalan. Alasannya
karena sarana-sarana tadi bukan jadi milik individual dan dalam surat At Taubah
ayat 60 hanya dibatasi diberikan kepada delapan golongan tidak pada yang
lainnya.
Begitu pula tidak boleh menyerahkan zakat kepada pak Kyai
atau guru ngaji kecuali jika mereka termasuk dalam delapan golongan penerima
zakat yang disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60.
Menyerahkan Zakat kepada Orang Muslim yang Bermaksiat dan
Ahlu Bid’ah
Orang yang menyandarkan diri pada Islam, ada beberapa
golongan:
Muslim
yang taat dan menjalankan syariat Islam. Maka tidak meragukan lagi bahwa
golongan ini yang pantas diberikan zakat. Jadi seharusnya zakat diserahkan
pada orang yang benar-benar memperhatikan shalat dan ibadah wajib lainnya.
Termasuk
ahlu bid’ah dan bid’ahnya adalah bid’ah yang sifatnya kafir. Orang seperti
ini tidak boleh diberikan zakat pada dirinya. Misalnya adalah bid’ah
mengakui ada nabi ke-26.
Ahli
bid’ah (yang sifatnya tidak kafir) dan ahli maksiat. Jika diketahui dengan
sangkaan kuat bahwa ia akan menggunakan zakat tersebut untuk maksiat, maka
tidak boleh memberikan zakat pada orang semacam itu.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sudah
seharusnya setiap orang memperhatikan orang-orang yang berhak mendapakan zakat
dari kalangan fakir, miskin, orang yang terlilit utang dan golongan lainnya.
Seharusnya yang dipilih untuk mendapatkan zakat adalah orang yang berpegang
teguh dengan syari’at. Jika nampak pada seseorang kebid’ahan atau kefasikan, ia
pantas untuk diboikot dan mendapatkan hukuman lainnya. Ia sudah pantas dimintai
taubat. Bagaimana mungkin ia ditolong dalam berbuat maksiat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar