Anda, saya, ataupun siapa saja tentu pernah mengalaminya. Dalam merespon sebuah diskusi,
terkadang kita langsung bersikap reaksioner. Tersinggung, mudah marah atau bahkan mengancam. Mengedepankan
emosi daripada meresapi.
Mengedepankan naluri daripada empati. Padahal,
andaikata semua orang bisa memahami satu sama lain. Saling berempati satu sama
lain, niscaya (konflik) itu tidak akan pernah terjadi.
Emosi adalah bagian dari sebuah ekspresi. Emosi
juga bisa saya maknai sebagai wujud dari aktualisasi diri yang "tidak
tuntas" --lebih bersifat negatif. Sama-sama bentuk dari aktualisasi diri,
mungkin hanya berbeda pada tataran proses, dengan orang yang bisa berekspresi menggunakan
opini (wacana). Jadi, ketika seseorang itu emosi dalam berdiskusi, sebenarnya
itu menunjukkan bahwa ada "problem" dengan orang tersebut, yang berkenaan
dalam proses mengartikulasikan dirinya untuk membangun sebuah opini.
Dengan memahami demikian, bagi yang sudah bisa berdiskusi,
beropini, maka seyogyanya dengan sabar bisa memahami orang-orang yang masih
berada dalam tahap (tataran) emosi.
Dalam konteks pemahaman seperti itulah, yang
kemudian saya jadikan pijakan untuk mengkritik --sekaligus memberikan saran--
terhadap gerakan massa grass-root NU yang cenderung "radikal".
Misalnya: munculnya fenomena Pasukan Berani Mati
(PBM) ketika Gus Dur akan dijatuhkan. Juga aksi-aksi massa Front Pembela Islam
(FPI) dan Laskar Jihad yang cenderung merusak, dan aksi-aksi membakar buku-buku
--yang dianggap "kiri", yang dilakukan oleh Eurico Guetteres dkk
tempo hari.
Munculnya fenomena seperti itu, harusnya bisa
dipahami sebagai: pertama, pembodohan elite pada umat. Terjadi disinformasi
dari kalangan pemimpin kepada umatnya. Wawasan dan pengetahuan umat yang
terbatas -kalau tidak boleh dikatakan terbelakang, dimanfaatkan untuk kepentingan
elite. Itu juga menunjukkan, ada problem artikulasi diri pada mereka, sehingga
bisa dimanfaatkan oleh kalangan elite politik, hingga kemudian muncullah vonis
"komunis", "anarkhis" dll terhadap kelompok yang mereka
anggap lawan.
Kedua, bagi yang sudah pandai beropini (media
massa, elite lawan politik, provokator dll), tidaklah perlu memojokkan mereka yang masih menggunakan cara-cara
emosi untuk menyelesaikan masalah. Sesungguhnya, emosi yang mereka lakukan itu,
menunjukkan ketidakmampuan untuk menuntaskan masalah melalui mekanisme
intelektual (diskusi, berdebat, berbeda
pendapat dll) dan cara-cara yang beradab (via wakil rakyat, aparat penegak
hukum, forum diskusi dll).
Padahal, seharusnya masalah yang "tidak
tuntas" itu menjadi kewajiban bersama; baik oleh yang sudah mengerti, ataupun bagi yang masih suka menggunakan instrumen
emosi. Karena dengan begitu, beda pendapat di negeri ini akan berlangsung
dengan sangat demokratis dan santun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar